Semasa
kehidupan Sang Buddha, ajaranNya dikenal dengan beragam nama seperti
Buddha-vacana (`Perkataan Sang Buddha`)[1], Buddha-sasana (`Pesan Sang
Buddha` atau `Ajaran Sang Buddha`)[2], Sasana (`Pesan` atau `Ajaran`)[3]
atau Dhamma (`Ajaran’ atau `Kebenaran`)[4]. Pada masa itu tidak ada
yang disebut dengan Theravada atau Mahayana. Berdasarkan catatan
sejarah kuno Sri Lanka yaitu Dipavamsa (Catatan Sejarah Nusa/Pulau, abad
ke-4 Masehi), Mahavamsa (Catatan Sejarah Besar, abad ke-5 Masehi), dan
Samantapasadika (Kitab Komentar atas Vinaya), istilah `Theravada`,
`Teriya` atau `Therika` untuk pertama kalinya diperkenalkan dalam
sejarah Buddhisme setelah Konsili (Sidang Agung) pertama yang diadakan
di Rajagaha (Rajagriha) tiga bulan setelah Sang Buddha Parinibbana.
Konsili ini dihadiri oleh lima ratus Arahat yang merupakan siswa-siswa
Sang Buddha dan dipimpin oleh Mahakassapa Thera. Semua ajaran Sang
Buddha baik Dhamma dan Vinaya dibaca ulang kembali selama tujuh bulan
dan dengan suara bulat menerimanya sebagai ajaran murni Sang Guru. Apa
yang diakui dan disetujui pada Konsili ini dikenal sebagai `Theravada`
(`Ajaran Para Sesepuh`) atau `Theriya` atau `Therika` (Tradisi Para
Sesepuh`).[5]
Mahayana muncul beberapa abad kemudian, sekitar di awal era Kristiani, dan kebanyakan kitab Mahayana awal disusun semasa beberapa abad selanjutnya. Tetapi Mahayana di formulasikan dan diuraikan sebagai sistem filsafat Buddhis oleh dua Guru Besar yang bisa dipertimbangkan sebagai penemu dari dua tradisi/aliran Mahayana penting, yaitu: Nagajurna (abad kedua Masehi) mendirikan sistem Madhyamika dengan ajaran terkenalnya Mulamadhymaka-karika yang mana filsafat sunyata (kekosongan) dibahas dan ditemukannya komentar hebatnya terhadap Prajnaparamita. Asanga (abad keempat Masehi) mendirikan sistem Yogacara-vijnanavada dengan Yogacarabhumisastra sebagai hasil kerjanya yang monumental, terdiri dari 17 kitab.
Inilah klarifikasi terhadap istilah Theravada (Ajaran Para Sesepuh), Hinayana (Wahana Kecil) dan Mahayana (Wahana Besar) yang mungkin sangat diperlukan dan membantu. Istilah Hinayana dan Mahayana tidak dikenal dalam literatur Pali Theravada. Kedua istilah itu tidak ditemukan di Kitab Pali (Tipitaka) maupun dalam Kitab Komentar dalam Tipitaka, bahkan tidak terdapat dalam Catatan Sejarah Kuno Sri Lanka, Dipavamsa dan Mahavamsa.
Diterima secara menyeluruh oleh para sarjana bahwa istilah Hinayana dan Mahayana merupakan hasil ciptaan umat Mahayana selanjutnya. Theravada tidak termasuk dalam kedua pembagian ini. Sejarah mengatakan bahwa Theravada sudah ada jauh sebelum kedua istilah ini muncul. Theravada yang sama ini, yang dianggap sebagai ajaran murni Sang Buddha telah diperkenalkan ke Sri Lanka dan berdiri dengan kuat di sana pada abad ketiga Sebelum Masehi semasa Kaisar Asoka dari India. Pada masa itu tidak ada yang disebut dengan Mahayana. Istilah ini muncul beberapa abad kemudian. Tanpa Mahayana tidak akan ada Hinayana. Buddhisme yang pergi ke Sri Lanka dengan Tipitaka dan Kitab-Kitab Komentar-nya telah diakui dan diterima oleh Konsili Ketiga pada abad ketiga Sebelum Masehi, tinggal di Sri Lanka secara utuh sebagai Theravada, dan tidak mengambil bagian dari perselisihan Mahayana-Hinayana yang berkembang kemudian di India. Oleh karena itu, tidak dibenarkan memasukkan Theravada ke dalam kedua kategori ini. Setelah peresmian World Fellowship of Buddhists (Persahabatan Buddhis Sedunia) di Sri Lanka tahun 1950, telah diberitahukan kepada orang-orang, baik dari dunia Timur maupun Barat untuk menggunakan istilah Theravada dan bukan istilah Hinayana, dengan mengacu pada bentuk Buddhisme yang umum yang ada di negara-negara Asia Tenggara seperti Birma, Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand. Namun, masih tetap ada orang-orang yang ketinggalan jaman yang menggunakan istilah Hinayana. Faktanya, tidak ada aliran Hinayana sebagai komunitas tertentu yang diketahui eksis saat ini, dimanapun di dunia.
Dalam First International Congress of the World Buddhist Sangha Council (Kongres Internasional Dewan Sangha Buddhis Sedunia) yang pertama yang di adakan di Colombo, Sri Lanka, pada bulan Januari 1967, atas permintaan pendiri Sekretaris Jenderal, almarhum Y.M. Pandita Pimbure Sirata Thera, Saya menyampaikan sebuah rumusan singkat sebagai pemersatuan Theravada dan Mahayana, yang telah disepakati secara bulat. (Rumusan ini sekarang terdapat pada Lampiran IV dalam buku saya Heritage of the Bhikkhu, Grove Press, New York, 1974).
Rumusan tersebut dapat dikemukakan kembali sebagai berikut:
Mahayana muncul beberapa abad kemudian, sekitar di awal era Kristiani, dan kebanyakan kitab Mahayana awal disusun semasa beberapa abad selanjutnya. Tetapi Mahayana di formulasikan dan diuraikan sebagai sistem filsafat Buddhis oleh dua Guru Besar yang bisa dipertimbangkan sebagai penemu dari dua tradisi/aliran Mahayana penting, yaitu: Nagajurna (abad kedua Masehi) mendirikan sistem Madhyamika dengan ajaran terkenalnya Mulamadhymaka-karika yang mana filsafat sunyata (kekosongan) dibahas dan ditemukannya komentar hebatnya terhadap Prajnaparamita. Asanga (abad keempat Masehi) mendirikan sistem Yogacara-vijnanavada dengan Yogacarabhumisastra sebagai hasil kerjanya yang monumental, terdiri dari 17 kitab.
Inilah klarifikasi terhadap istilah Theravada (Ajaran Para Sesepuh), Hinayana (Wahana Kecil) dan Mahayana (Wahana Besar) yang mungkin sangat diperlukan dan membantu. Istilah Hinayana dan Mahayana tidak dikenal dalam literatur Pali Theravada. Kedua istilah itu tidak ditemukan di Kitab Pali (Tipitaka) maupun dalam Kitab Komentar dalam Tipitaka, bahkan tidak terdapat dalam Catatan Sejarah Kuno Sri Lanka, Dipavamsa dan Mahavamsa.
Diterima secara menyeluruh oleh para sarjana bahwa istilah Hinayana dan Mahayana merupakan hasil ciptaan umat Mahayana selanjutnya. Theravada tidak termasuk dalam kedua pembagian ini. Sejarah mengatakan bahwa Theravada sudah ada jauh sebelum kedua istilah ini muncul. Theravada yang sama ini, yang dianggap sebagai ajaran murni Sang Buddha telah diperkenalkan ke Sri Lanka dan berdiri dengan kuat di sana pada abad ketiga Sebelum Masehi semasa Kaisar Asoka dari India. Pada masa itu tidak ada yang disebut dengan Mahayana. Istilah ini muncul beberapa abad kemudian. Tanpa Mahayana tidak akan ada Hinayana. Buddhisme yang pergi ke Sri Lanka dengan Tipitaka dan Kitab-Kitab Komentar-nya telah diakui dan diterima oleh Konsili Ketiga pada abad ketiga Sebelum Masehi, tinggal di Sri Lanka secara utuh sebagai Theravada, dan tidak mengambil bagian dari perselisihan Mahayana-Hinayana yang berkembang kemudian di India. Oleh karena itu, tidak dibenarkan memasukkan Theravada ke dalam kedua kategori ini. Setelah peresmian World Fellowship of Buddhists (Persahabatan Buddhis Sedunia) di Sri Lanka tahun 1950, telah diberitahukan kepada orang-orang, baik dari dunia Timur maupun Barat untuk menggunakan istilah Theravada dan bukan istilah Hinayana, dengan mengacu pada bentuk Buddhisme yang umum yang ada di negara-negara Asia Tenggara seperti Birma, Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand. Namun, masih tetap ada orang-orang yang ketinggalan jaman yang menggunakan istilah Hinayana. Faktanya, tidak ada aliran Hinayana sebagai komunitas tertentu yang diketahui eksis saat ini, dimanapun di dunia.
Dalam First International Congress of the World Buddhist Sangha Council (Kongres Internasional Dewan Sangha Buddhis Sedunia) yang pertama yang di adakan di Colombo, Sri Lanka, pada bulan Januari 1967, atas permintaan pendiri Sekretaris Jenderal, almarhum Y.M. Pandita Pimbure Sirata Thera, Saya menyampaikan sebuah rumusan singkat sebagai pemersatuan Theravada dan Mahayana, yang telah disepakati secara bulat. (Rumusan ini sekarang terdapat pada Lampiran IV dalam buku saya Heritage of the Bhikkhu, Grove Press, New York, 1974).
Rumusan tersebut dapat dikemukakan kembali sebagai berikut:
- Apapun aliran, kelompok atau sistem kami, sebagai Buddhis kami semua menerima Sang Buddha sebagai Guru kami yang memberikan kami ajaranNya.
- Kami semua berlindung pada Tiga Permata (Tiratana): Sang Buddha, Guru kami; Dhamma, ajaranNya; dan Sangha, Komunitas para Arya (suciwan). Dengan kata lain, kami berlindung pada Pengajar, Pengajaran, dan Hasil Pengajaran.
- Baik Theravada ataupun Mahayana, kami tidak mempercayai bahwa dunia ini diciptakan dan diatur oleh tuhan atas kehendaknya.
- Mengikuti keteladanan Sang Buddha, Guru kami yang merupakan perwujudan dari Belas kasih Agung (Maha Karuna) dan Kebijaksanaan Agung (Maha Prajna), kami menyadari bahwa tujuan dari hidup adalah untuk mengembangkan belas kasih bagi semua makhluk hidup tanpa diskriminasi dan untuk bekerja untuk kebaikan, kebahagiaan, dan kedamaian mereka; dan untuk mengembangkan kebijaksanaan yang mengarah pada realisasi Kebenaran Tertinggi.
- Kami menerima Empat Kebenaran Mulia yang diajarkan oleh Sang Buddha, yaitu, Dukkha, kebenaran bahwa keberadaan kita di dunia ini berada dalam kesukaran, tidak kekal, tidak sempurna, tidak memuaskan, penuh dengan konflik; Samudaya, kebenaran bahwa kondisi-kondisi ini merupakan hasil dari sifat egois kita yang mementingkan diri sendiri berdasarkan pada ide yang salah mengenai diri; Niroda, kebenaran bahwa adanya kepastian akan kemungkinan pelepasan, pembebasan, kemerdekaan dari kesukaran ini dengan pemberantasan secara total sifat egois yang mementingkan diri sendiri; dan Magga, kebenaran bahwa pembebasan ini dapat dicapai melalui Jalan Tengah yang terdiri dari delapan faktor, yang mendorong ke arah kesempurnaan akan kemoralan (sila), disiplin mental (samadhi), dan kebijaksanaan (panna).
- Kami menerima hukum semesta sebab akibat yang terdapat dalam Paticcasamuppada (Skt. Pratityasamutpada, Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan), dan oleh karena itu kami menerima bahwa segala sesuatu bersifat relatif, saling berhubungan, saling berkaitan dan tidak ada yang mutlak, tetap, dan kekal di alam semesta ini.
- Kami memahami, berdasarkan pada ajaran Sang Buddha, bahwa segala sesuatu yang berkondisi (sankhara) adalah tidak kekal (anicca), tidak sempurna dan tidak memuaskan (dukkha), dan segala sesuatu yang berkondisi dan tidak berkondisi (dhamma) adalah bukan diri/ tanpa inti (anatta).
- Kami menerima Tigapuluh Tujuh kualitas yang berguna bagi pencapaian Pencerahan (Bodhipakkhiya Dhamma) sebagai beragam aspek yang berbeda dari Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha yang mendorong ke arah Pencerahan, yaitu:
- Empat Bentuk Landasan Perhatian Benar (Pali: satipatthana; Skt. smrtyupasthana);
- Empat Daya Upaya Benar (Pali. sammappadhana; Skt. samyakpradhana);
- Empat Dasar Kekuatan Batin (Pali. iddhipada; Skt. rddhipada);
- Lima Macam Kemampuan (indriya: Pali. saddha, viriya, sati, samadhi, panna; Skt. sraddha, virya, smrti, samadhi, prajna);
- Lima Macam Kekuatan (bala: saddha, viriya, sati, samadhi, panna; Skt. sraddha, virya, smrti, samadhi, prajna);
- Tujuh Faktor Pencerahan Agung (Pali. bojjhanga; Skt. bodhianga);
- Delapan Ruas pada Jalan Mulia (Pali. ariyamagga; Skt. aryamarga).
- Ada tiga jalan untuk mencapai Bodhi atau Pencerahan Agung berdasarkan pada kemampuan/kecakapan dan kapasitas dari masing-masing individu, yaitu: sebagai seorang Sravaka (Yang melaksanakan ajaran Sammasambuddha ), sebagai seorang Pratyekabuddha (Buddha Yang tidak memberikan pengajaran) dan sebagai seorang Samyaksambuddha (Buddha Yang Sempurna). Kami menerima jika mengikuti karir seorang Boddhisattva adalah untuk menjadi seorang Samyaksambuddha dalam rangka menyelamatkan yang lain, merupakan sesuatu yang tertinggi, mulia dan paling heroik. Tetapi ketiga kondisi ini berada dalam Jalan yang sama, tidak berada dalam jalan yang berbeda. Sesungguhnya, Sandhinirmocana Sutra, salah satu sutra Mahayana yang penting, secara jelas dan tegas mengatakan bahwa mereka yang mengikuti garis Sravaka-yana (Wahana Sravaka) atau garis Pratyekabuddha-yana (Wahana Pratyekabuddha) atau garis Para Tathagata (Mahayana) mencapai Nibbana tertinggi dengan Jalan yang sama, dan oleh karena itu bagi mereka semua hanya ada satu Jalan Pemurnian (visuddhi-marga) dan hanya satu Pemurnian (visuddhi) dan tidak ada yang lain, dan oleh karena itu mereka bukanlah jalan yang berbeda dan pemurnian yang berbeda, dan oleh karena itu Sravakayana dan Mahayana merupakan Satu Wahana, Satu Yana (eka-yana) dan bukanlah wahana atau yana yang berbeda.[6]
- Kami mengakui bahwa dalam negara-negara yang berbeda ada perbedaan mengenai tata cara hidup dari para biarawan Buddhis, kepercayaan dan praktik, upacara dan ritual-ritual, seremonial, adat istiadat dan kebiasaan umat Buddha yang bersifat umum. Bentuk eksternal (luar) dan ekspresi ini semestinya tidak boleh dicampuradukkan/dikelirukan (perlu dipisahkan) dengan esensi/inti ajaran-ajaran Sang Buddha.
Tetapi
bagi orang-orang yang kurang akan pengajaran dan kurang berkembang,
kebiasaan dan tata cara ibadah, kepercayaan-kepercayaan dangkal,
bentuk-bentuk eksternal, menjadi bagian dari agama mereka. Kepercayaan
dan kebiasaan-kebiasaan tersebut perlu dihargai dengan penuh simpati
sesuai dengan pandangan relatif mereka. Kemelekatan pada tata cara
ibadah dan ritual-ritual eksternal (silabbata-paramasa) merupakan suatu
kelemahan, suatu perbudakan, suatu belenggu (samyojana) terhadap
kebebasan seseorang akan dirinya dan kemajuan seseorang dalam jalan
menuju realisasi Kebenaran Tertinggi, Nibbana. Bukan hanya kemelekatan
terhadap tata cara ibadah, upacara-upacara dan ritual, tetapi juga
kemelekatan pada ide-ide, konsep-konsep, kepercayaan-kepercayaan,
teori-teori (dhamma-tanha) akan merintangi pikiran seseorang untuk
melihat segala sesuatu seperti apa adanya (yathabhuta). Ini merupakan
sebuah rintangan yang bukan saja merintangi realisasi akan Kebenaran,
tetapi juga merintangi terwujudnya keharmonian dan kedamaian antar
manusia.
Buddhisme bukanlah sebuah agama etnosentris (berdasarkan etnis/ras). Buddhisme melampaui semua perbatasan dan batas-batas ras, suku ataupun kebangsaan. Buddhisme tidak mengikutsertakan di dalam dirinya berbagai adat istiadat kesukuan, tradisi atau kebiasaan-kebiasaan dari suatu negara atau bangsa apapun ke negara lain. Ketika Buddhisme mulai baru menyebarkan pengaruhnya terhadap negara-negara melalui Asia dimana ia berdiri dan menyebar, secara alami dan penuh keramahan mengadaptasikan dirinya dalam kebudayaan negara-negara dan bangsa-bangsa tersebut. Oleh karena itu terdapat keragaman kebudayaan Buddhis – keragaman seni dan arsitektur, keragaman patung Sang Buddha, keragaman pakaian para anggota Sangha, keragaman tata cara ibadah dan upacara-upacara – dari Tibet di Utara sampai Sri Lanka di Selatan, dari India di Barat sampai Jepang di Timur. Meskipun demikian, kesatuan esensi/inti Dhamma yang melampaui semua keragaman eksternal tersebut menjalin satu dengan yang lain seperti halnya benang sutra yang menjalin manik-manik beragam warna pada sebuah kalung. Dhamma, Kebenaran adalah satu dan sama. Bentuk-bentuk eksternal-lah yang banyak dan beragam.
Para anggota Sangha Buddhis seharusnya tidak terpengaruh oleh sifat agresif, kecenderungan fanatik yang terjadi diberbagai belahan dunia saat ini. Sangha perlu secara berani dan bermartabat memelihara keberlangsungan akan tradisi mulia Buddhist akan saling pengertian dan toleransi. Dalam sejarah Buddhisme yang panjang selama 2.500 tahun tidak pernah terjadi peperangan maupun pemaksaan untuk beralih kepercayaan. Para biarawan Buddhis menyebarkan ajaran Sang Buddha keseluruh Asia, dan sekarang mereka melakukannya di belahan dunia lain juga selalu dengan penuh damai, melalui kekuatan ajaran mereka, toleransi, dengan sikap penuh kebaikan dan kelembutan tanpa kekerasan. Para anggota Sangha dapat memberikan teladan kepada dunia dalam hal ini.
Sekarang kemanusiaan terancam oleh kemungkinan akan adanya perang nuklir, itu berarti kehancuran yang tidak dapat dibayangkan dan diperkirakan akan terjadi dan penderitaan akan melanda dunia. Dua kekuatan super saling mengancam satu sama yang lain dan mengacungkan senjata-senjata pemusnah yang terbaru. Mereka yang memegang kekuasaan di dunia ini nampaknya sama sekali tanpa kesehatan mental. Hanya suara massa dari orang-orang seluruh dunia yang terorganisir dengan baik yang dapat mengembalikan mereka dalam kewarasan. Saat ini terdapat lebih dari sejuta anggota Sangha Buddhis di dunia, baik Theravada maupun Mahayana. Mereka memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap orang banyak. Adalah tugas wajib bagi Sangha Buddhis untuk menyebarkan pesan belas kasih dan kebijaksanaan di antara orang-orang dalam rangka meraih perdamaian dunia. Pelayanan keagamaan yang paling mulia adalah mempromosikan saling pengertian, keharmonisan, kedamaian dan kebahagiaan di antara orang-orang, dan tidak menentukan label agama pada agama yang satu dengan yang lain.
Buddhisme bukanlah sebuah agama etnosentris (berdasarkan etnis/ras). Buddhisme melampaui semua perbatasan dan batas-batas ras, suku ataupun kebangsaan. Buddhisme tidak mengikutsertakan di dalam dirinya berbagai adat istiadat kesukuan, tradisi atau kebiasaan-kebiasaan dari suatu negara atau bangsa apapun ke negara lain. Ketika Buddhisme mulai baru menyebarkan pengaruhnya terhadap negara-negara melalui Asia dimana ia berdiri dan menyebar, secara alami dan penuh keramahan mengadaptasikan dirinya dalam kebudayaan negara-negara dan bangsa-bangsa tersebut. Oleh karena itu terdapat keragaman kebudayaan Buddhis – keragaman seni dan arsitektur, keragaman patung Sang Buddha, keragaman pakaian para anggota Sangha, keragaman tata cara ibadah dan upacara-upacara – dari Tibet di Utara sampai Sri Lanka di Selatan, dari India di Barat sampai Jepang di Timur. Meskipun demikian, kesatuan esensi/inti Dhamma yang melampaui semua keragaman eksternal tersebut menjalin satu dengan yang lain seperti halnya benang sutra yang menjalin manik-manik beragam warna pada sebuah kalung. Dhamma, Kebenaran adalah satu dan sama. Bentuk-bentuk eksternal-lah yang banyak dan beragam.
Para anggota Sangha Buddhis seharusnya tidak terpengaruh oleh sifat agresif, kecenderungan fanatik yang terjadi diberbagai belahan dunia saat ini. Sangha perlu secara berani dan bermartabat memelihara keberlangsungan akan tradisi mulia Buddhist akan saling pengertian dan toleransi. Dalam sejarah Buddhisme yang panjang selama 2.500 tahun tidak pernah terjadi peperangan maupun pemaksaan untuk beralih kepercayaan. Para biarawan Buddhis menyebarkan ajaran Sang Buddha keseluruh Asia, dan sekarang mereka melakukannya di belahan dunia lain juga selalu dengan penuh damai, melalui kekuatan ajaran mereka, toleransi, dengan sikap penuh kebaikan dan kelembutan tanpa kekerasan. Para anggota Sangha dapat memberikan teladan kepada dunia dalam hal ini.
Sekarang kemanusiaan terancam oleh kemungkinan akan adanya perang nuklir, itu berarti kehancuran yang tidak dapat dibayangkan dan diperkirakan akan terjadi dan penderitaan akan melanda dunia. Dua kekuatan super saling mengancam satu sama yang lain dan mengacungkan senjata-senjata pemusnah yang terbaru. Mereka yang memegang kekuasaan di dunia ini nampaknya sama sekali tanpa kesehatan mental. Hanya suara massa dari orang-orang seluruh dunia yang terorganisir dengan baik yang dapat mengembalikan mereka dalam kewarasan. Saat ini terdapat lebih dari sejuta anggota Sangha Buddhis di dunia, baik Theravada maupun Mahayana. Mereka memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap orang banyak. Adalah tugas wajib bagi Sangha Buddhis untuk menyebarkan pesan belas kasih dan kebijaksanaan di antara orang-orang dalam rangka meraih perdamaian dunia. Pelayanan keagamaan yang paling mulia adalah mempromosikan saling pengertian, keharmonisan, kedamaian dan kebahagiaan di antara orang-orang, dan tidak menentukan label agama pada agama yang satu dengan yang lain.
Artikel ini telah melalui proses pencetakan untuk: Kongres Internasional Dewan Sangha Buddhis Sedunia Ketiga, (Taiwan, Republik Rakyat China, 1-7 Desember, 1981), halaman 32-35; dan juga dicetak ulang oleh Bauddha Marga (Colombo: Organ of the World Fellowship of Buddhists Sri Lanka Regional Centre, buku laporan Vesak, 1982), Vol.V, halaman 41-44.
- Vinaya(PTS) II (Cullavagga).139.
- Dhammapada, ayat 381, 382; Anguttara-nikaya(PTS) I. 294.
- Vinaya(PTS) I.12; Digha-nikaya(PTS) I.110; II.206; Suttanipata, ayat 482.
- Majjhima-nikaya(PTS) I.133, 141, dan seterusnya.
- Therehi katasamgaho theravado`ti vuccati. ”Kumpulan (kitab) yang telah diselesaikan oleh Para Sesepuh disebut Ajaran Para Sesepuh.” Dipavamsa, Bab IV, ayat11.
Thereh`eva katatta ca therya`yam parampara. “Ketika hal ini telah dilaksanakan oleh Para Sesepuh, ini (disebut) tradisi Para Sesepuh.” Mahavamsa, Bab III, ayat 40.
Thereh`eva katatta ca therika`ti pavuccati. “Ketika hal ini telah dilaksanakan oleh Para Sesepuh, ini disebut (dilihat sebagai) miliki para Sesepuh.” Samantapasadika (PTS) I.30. Samantapasadika diterjemahkan ke dalam bahasa Pali oleh Buddhaghosa pada abad ke-5 Masehi dari Kitab Komentar asli dalam bahasa Sinhala yang berasal paling kurang pada abad ke-3 Sebelum Masehi. - Sandhinirmocana Sutra, halaman 73, 147, 198, 255, diterjemahkan dan diterbitkan oleh Etienne Lamotte, Louvain dan paris (1935).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar