Rabu, 23 Mei 2012

Ritual Dalam Agama Buddhis

Parita (bahasa Pali), Paritrana (bahasa Sansekerta) dan Pirit (bahasa Sinhala) pada prinsipnya berarti “Perlindungan”. Semuanya digunakan untuk menjelaskan sutta-sutta atau ceramah-ceramah tertentu yang diucapkan oleh Sang Buddha yang sudah dianggap memberikan perlindungan dan kebebasan dan pengaruh-pengaruh yang membahayakan, parita mempunyai banyak sekali manfaat bila kita dapat mengerti makna yang ada didalam parita tersebut, didalam parita tersimpan suatu kekuatan yang sangat luar biasa yang tidak dapat disangka-sangka. Kekuatan parita akan semakin besar apabila kita memiliki pikiran yang baik saat membacakan parita, biasanya parita yang dibacakan oleh para bhikkhu akan lebih memiliki kekuatan karena seorang bhikkhu adalah orang yang memiliki dan melaksanakan moral yang lebih banyak dan lebih tinggi dari kita. Kekuatan parita biasanya dapat terlihat pada saat digunakan untuk mendukung berbuahnya karma baik bagi orang sakit sehingga orang sakit dapat disembuhkan, biasanya para bhikkhu menggunakan media air sebagai pendukungnya, yang disebut dengan air parita.
Sejarah air parita yaitu khuddkapatha, didalam khuddakapatha dijelaskan bahwa Buddha memberikan intruksi kepada Ananda untuk menghafalkan dan mempelajari sutta permata (parita Ratana sutta), setelah paham Ananda diperintahkan untuk mengajarkan kepada para bhikkhu dan para umat. Pada saat itu di kota Vesali terjadi sebuah bencana, awalnya terjadi kekeringan, kekeringan tersebut mengakibatkan kelaparan yang berkepanjangan dan mengakibatkan banyak korban berjatuhan. Karena terlalu banyak korban yang meninggal, mayat-mayat tersebut tidak dimakamkan, tetapi hanya didiamkan begitu saja. Lama kelamaan mayat itu membusuk akibatnya banyak makhluk-makhluk yang datang ketempat tersebut karena mencium aroma bau busuk mayat, makhluk-makhluk itu adalah raksasa asura dan makhluk peta kunapasa. Selain itu juga banyak menyebar penyakit. Setelah Sang Buddha mendengar berita tersebut lalu sang Buddha datang ke kota Vesali pada saat Buddha datang banyak keajaiban yang ikut datang juga yaitu salah satunya turunnya hujan lebat tiada henti. Hujan tersebut disebut hujan teratai, hujan ini aneh. Mereka yang ingin kena basah oleh air hujan maka mereka akan basah, tetapi mereka yang tidak ingin terkena basah maka mereka akan tetap kering. Hujan tersebut berhari-hari hingga menimbulkan banjir, Karena banjir ini mayat-mayat yang berserakan menjadi hanyut terbawa air kesungai dan laut. Setelah itu kota Vesali menjadi bersih dari mayat-mayat, raksasapun pergi tetapi makhluk-makhluk peta bersembunyi di balik kandang-kandang ternak. Lalu Buddha beserta rombongan 500 Bhikku dan para umat berbaris lalu membacakan sutta permata (parita Ratana sutta). Inilah pertama kalinya Ratana sutta dibacakan bersama-sama dan menggema di seluruh negeri. Buddha dibaris paling depan sambil membawa mangkuk yang berisi air lalu memercikan air itu keseluruh penjuru, setelah pemercikan air itu makhluk-makhluk peta tersebut yang sebelumnya bersembunyi menjadi lari dan kabur setelah itu sang Buddha membabarkan Ratana Sutta lalu 84000 mkhluk yang hadir baik manusia maupun dewa mencapai tingkat kesucian sottapana.
Dari cerita tadi dapat disimpulkan bahwa manfaat air parita adalah untuk membersihkan tempat dari makhluk-makhluk seperti raksasa dan makhluk peta, penertian tadi menurut tinjauan sutta. Air parita juga dapat ditinjau dari ilmiahnya Para pemikir ilmiah selalu menuntut bukti dan fakta. Ada suatu penelitian yang meneliti air. Menurut penelitian ilmiah air dapat merekam apa yang kita pikirkan. Ada 2 jenis air, air yang pertama diberi kata-kata “air kau sungguh indah” dan air yang kedua diberi kata-kata “air kau sungguh jelek dan bau”. Setelah itu air itu dibekukan lalu saat mencair dilihat dengan menggunakan alat air yang diberi pujian menghasilkan molekul-molekul yang baik dengan bentuk Kristal berbentuk segi enam, sedangkan yang di jelek- jelekkan mendapatkan hasil yang buruk air menjadi berwarna coklat seperti lumpur.
Darani
Darani adalah yang lebih pendek dari sutra, atau bentuk yang lebih singkat dari sutra.
Usnisa Vijaya Dharani adalah sebuah sutra Mahayana. Sutra ini berisi khotbah Sang Buddha mengenai seorang putra dewa bernama Susthita yang seharusnya menjalani hukuman karma-nya akibat buah perbuatannya di masa lalu, namun berkat "Usnisa Vijaya Dharani" menjadi terbebaskan. Sutra ini adalah versi terjemahan dari Guru Buddhapala di zaman Dinasti Tang. Isi sutra tersebut adalah sebagai berikut :
Demikianlah yang telah saya dengar, pada suatu waktu, Sang Bhagava Buddha yang menetap dalam kota Shravasti di Jetavana (Hutan Jeta), di Taman Anathapindika (Taman Dermawan untuk Yatim dan Tanpa Saudara), bersama dengan pengikut tetapnya yang kesemua berjumlah seribu dua ratus lima puluh bikkhu terpandang dan dua belas ribu Maha Bodhisattva Sangha.Saat itu, dewa-dewa di Surga Trayastrimsha juga tengah berkumpul dalam Aula Kebajikan Dharma. Di antara mereka terdapat seorang putra dewa bernama Susthita, bersama-sama dengan putra-putra dewa terpandang lainnya, sedang bersuka-ria di taman dan lapangan, menikmati kebahagiaan luar biasa dalam kehidupan surgawi. Dikelilingi oleh dewi-dewi, mereka dengan penuh kegembiraan – menyanyi, menari, dan menghibur diri mereka sendiri. Segera malam tiba, Susthita putradewa tiba-tiba mendengar suara dari angkasa yang berkata “Susthita putradewa, engkau hanya mempunyai tujuh hari lagi untuk hidup. Setelah meninggal, engkau akan dilahirkan kembali di Jambudwipa (Bumi) sebagai seekor binatang selama tujuh kehidupan berturut-turut. Setelahnya, engkau akan masuk ke dalam neraka untuk menjalani penderitaan tambahan. Hanya setelah hukuman karmamu tergenapi, engkau akan dilahirkan kembali di alam manusia, tetapi terlahir di keluarga sederhana dan melarat. Saat berada dalam rahim ibumu, engkau tidak akan mempunyai mata dan terlahir buta.
Mendengar ini, Susthita putradewa sangat takut hingga bulu kuduknya berdiri pada akhirnya. Merasa ketakutan dan tertekan, dia lari ke istana Raja Sakra. Meledak dalam tangis dan tidak tahu apalagi yang harus diperbuat, dia bersujud di kaki Raja Sakra, memberitahukan Raja Sakra apa yang telah terjadi.“Ketika saya sedang bersuka ria menikmati tarian dan nyanyian bersama dewi-dewi surga, saya tiba-tiba mendengar suara dari angkasa yang memberitahukan saya bahwa saya hanya tinggal mempunyai tujuh hari saja, dan saya akan terperosok ke dalam Jambudwipa (Bumi) setelah mati, tinggal di sana dalam alam binatang selama tujuh kehidupan berturut-turut. Setelahnya, saya terperosok dalam bermacam neraka untuk menjalani penderitaan yang lebih berat. Hanya setelah hukuman karmaku digenapi, saya akan dilahirkan kembali sebagai manusia, dan sesudahnya saya akan terlahir tanpa mempunyai mata dalam keluarga miskin dan terhina. Raja Surga, bagaimana saya dapat melepaskan diri dari penderitaan seperti ini?”. Mendengar permohonan Susthita putradewa yang penuh tangisan, Raja Sakra sangat heran dan berpikir, “Dalam tujuh jalan sengsara berturut-turut dan wujud-wujud apakah yang akan dijalani Susthita putradewa?”. Raja Sakra segera menenangkan pikirannya memasuki samadhi dan mengamati secara seksama. Segera, dia melihat Susthita menjalani tujuh jalan sengsara dalam wujud babi, anjing, serigala, monyet, ular sawah, burung gagak dan burung bangkai, yang kesemuanya hidup dari sampah dan bangkai. Setelah melihat tujuh masa depan wujud kelahiran kembali Susthita putradewa, Raja Sakra merasa hancur dan sangat sedih, tetapi tidak dapat memikirkan jalan lain untuk menolong Susthita. Dia merasa hanya Sang Tathagata, Arahat, Samyak-sambuddha yang dapat menyelamatkan Susthita dari kejatuhan ke dalam penderitaan hebat di jalan sengsara. Maka, segera setelah malam tiba, Raja Sakra menyiapkan berbagai macam rangkaian bunga, wewangian dan dupa. Menghiasi dirinya dengan bahan kain dewa terbaik dan membawa sesajian ini, Raja Sakra menuju taman Anathapindika, tempat kediaman Bhagavan Buddha. Saat tiba, Raja Sakra pertama-tama bersujud di kaki Buddha sebagai penghormatan, kemudian berjalan perlahan-lahan searah jarum jam mengelilingi Sang Buddha untuk pemujaan, sebelum meletakkan persembahan agungnya. Sambil berlutut di depan Sang Buddha, Raja Sakra menjelaskan takdir akhir dari Susthita putradewa yang akan terperosok ke dalam jalan sengsara dengan tujuh kelahiran kembali berturut-turut ke dalam alam binatang dengan rincian dari hukuman karma lanjutannya.
Seketika, Usnisa (mahkota) dari Sang Tathagata memancarkan bermacam-macam sinar terang benderang, menerangi dunia di sepuluh penjuru, dan cahaya tersebut memantul kembali, melingkari Buddha tiga kali sebelum masuk ke dalam mulut-NYA. Kemudian Sang Buddha tersenyum dan berkata kepada Raja Sakra. “Raja Surga, terdapat Dharani yang dikenal sebagai “Usnisa Vijaya Dharani”. Dharani ini dapat menyucikan semua jalan sengsara, melenyapkan penderitaan atas kelahiran dan kematian secara menyeluruh. Dharani ini juga dapat membebaskan semua kesengsaraan dan penderitaan mahluk hidup di alam neraka, Raja Yama dan binatang, menghancurkan semua neraka, dan mengantarkan semua mahluk hidup ke jalan suci. “Raja Surga, jikalau seseorang mendengar Usnisa Vijaya Dharani sekali saja, semua karma buruk dari kehidupan sebelumnya yang seharusnya menyebabkan ia terlahir di neraka akan terhancurkan semuanya. Sebaliknya, ia akan memperoleh badan yang baik dan bersih. Dimanapun ia dilahirkan kembali, dia akan mengingat Dharani ini secara jelas – dari satu kebuddhaan ke lainnya, dari satu alam surgawi ke alam surgawi lainnya. Sesungguhnya, melalui Surga Trayastrimsha, dimanapun ia terlahir kembali, dia tidak akan lupa.
”Raja Surga, jikalau seseorang menjelang kematian mengingat Dharani suci ini, walaupun hanya sekejap, masa hidupnya akan diperpanjang dan ia akan memperoleh kesucian dalam raga, perkataan dan pikirannya. Tanpa penderitaan dan kesakitan badaniah dan sesuai dengan perbuatan baiknya, dia akan menikmati ketentraman di mana saja. Menerima berkah dari semua Tathagata, dan senantiasa dijaga dewa-dewa, dan dilindungi oleh Bodhisatva, ia akan dihormati dan dimuliakan masyarakat, dan semua rintangan kesengsaraan akan terhapuskan.”“Raja Surga, jikalau seseorang dengan ikhlas membaca dan melafalkan Dharani ini, walaupun sekejap saja, semua hukuman karmanya yang akan menyebabkan ia menderita di alam neraka, binatang, Raja Yama, setan lapar, akan dihancurkan seluruhnya dan dihapuskan tanpa meninggalkan jejak. Ia akan bebas pergi ke tanah suci Buddha dan istana surga manapun, semua pintu gerbang ke kediaman Bodhisatva akan terbuka untuknya tanpa hambatan.”
Setelah mendengar ajaran ini, Raja Sakra segera memohon kepada Sang Buddha, “Demi semua mahluk hidup, semoga Bhagavan Buddha memberikan ajaran mengenai bagaimana usia hidup seseorang dapat diperpanjang.” Sang Buddha mengetahui keinginan Raja Sakra dan keinginannya untuk mendengar ajaran-NYA mengenai Dharani ini dan segera mengucapkan Mantra ini seperti demikian:
"Namo bhagavate trailokya prativisistaya buddhaya bhagavate. Tadyatha, om, visuddhaya-visuddhaya, asama-sama samantavabhasa-spharana gati gahana svabhava visuddhe, abhinsincatu mam. Sugatavara vacana amrta abhisekai maha mantra-padai. Ahara-ahara ayuh sam-dharani. Sodhaya-sodhaya, gagana visuddhe. Usnisa vijaya visuddhe. Sahasra-rasmi, samcodite, sarva tathagata avalokani, sat-paramita, paripurani, sarva tathagata mati dasa-bhumi, prati-sthite, sarva tathagata hrdaya adhisthanadhisthita maha-mudre. Vajra kaya, sam-hatana visuddhe. Sarvavarana apaya durgati, pari-visuddhe, prati-nivartaya ayuh suddhe. Samaya adhisthite. Mani-mani maha mani. Tathata bhutakoti parisuddhe. Visphuta buddhi suddhe. Jaya-jaya, vijaya-vijaya, smara-smara. Sarva buddha adhisthita suddhe. Vajri vajragarbhe, vajram bhavatu mama sariram. Sarva sattvanam ca kaya pari visuddhe. Sarva gati parisuddhe. Sarva tathagata sinca me samasvasayantu. Sarva tathagata samasvasa adhisthite, buddhya-buddhya, vibuddhya-vibuddhya, bodhaya-bodhaya, vibodhaya-vibodhaya. Samanta parisuddhe. Sarva tathagata hrdaya adhisthanadhisthita maha-mudre svaha." (Usnisa Vijaya Dharani ini adalah versi perbaikan dengan beberapa tambahan pada naskah asli terjemahan Sanskerta)
Kemudian Buddha berkata kepada Raja Sakra, “Mantra ini dikenal sebagai 'Yang Mensucikan Semua Jalan Sengsara Usnisa Vijaya Dharani'. Dharani ini dapat menghilangkan semua rintangan karma buruk dan menghapuskan penderitaan di semua jalan sengsara. Raja Surga, Dharani termasyur ini dinyatakan serentak oleh Buddha-Buddha sebanyak delapan puluh delapan koti (ratusan juta) sejumlah butiran-butiran pasir di Sungai Gangga. Semua Buddha bergembira dan menjunjung tinggi Dharani ini yang dibuktikan dengan tanda bukti kebijaksanaan dari Maha Vairocana Tathagata. Ini karena di dalam jalan sengsara, untuk membebaskan mereka dari hukuman menyakitkan dalam alam neraka, binatang dan Raja Yama; untuk melepaskan semua mahluk yang menghadapi bahaya keterperosokan ke dalam lautan lingkaran kelahiran dan kematian (samsara); untuk membimbing mahluk-mahluk lemah yang berusia pendek dan kurang beruntung dan untuk melepaskan mahluk-mahluk yang suka melakukan semua perbuatan jahat. Selain itu, karena ia berdiam dan dijunjung tinggi di dunia Jambudwipa, kekuatan yang ditunjukkan oleh Dharani ini akan mengakibatkan semua mahluk dalam neraka dan alam setan lainnya; orang yang kurang beruntung dan berpusar dalam lingkaran kelahiran dan kematian; orang yang tidak percaya adanya perbuatan baik dan jahat dan yang menyimpang dari jalan benar, untuk mencapai pelepasan.”
Kembali Buddha mengingatkan Raja Sakra, “Saya sekarang mempercayakan Dharani suci ini kepadamu. Giliranmu untuk meneruskannya kepada Susthita putradewa. Sebagai tambahan, kamu, dirimu sendiri harus menerima dan menunjung tinggi, melafal, merenung, dan menghargainya, menghafal dan menghormatinya. Mudra Dharani ini harus disebarluaskan kepada semua makluk hidup di dunia Jambudwipa. Saya juga mempercayakan hal ini kepadamu, untuk kebaikan semua mahluk-mahluk surgawi, di mana Mudra Dharani ini harus disebarluaskan. Raja Surga, kamu harus tekun menjunjung tinggi dan melindunginya, jangan pernah membiarkan Dharani ini dilupakan atau hilang.”
“Raja Surga, bila seseorang mendengar Dharani ini walaupun sekejap saja, dia tidak akan menjalani hukuman karma yang berasal dari karma jahat dan dosa-dosa berat yang terakumulasi dari ribuan kalpa lalu, yang sepantasnya menyebabkan ia berpusar dalam lingkaran kelahiran dan kematian – dalam semua bentuk kehidupan di jalan sengsara – neraka, setan lapar, binatang, alam Raja Yama, Asura, Yaksa, Raksasa, setan dan roh, Putana, Kataputana, Apasmara, nyamuk, kutu, kura-kura, anjing, ular phiton, burung, binatang buas, binatang merayap dan bahkan semut dan bentuk-bentuk kehidupan lainnya. Hasil dari kebaikan yang terkumpul dari mendengar sekejap Dharani ini, ketika kehidupan fana ini berakhir, dia akan terlahir kembali ke tanah Buddha, bersama dengan semua Buddha-Buddha dan Ekajati-pratibaddha Bodhisatva, atau di dalam keluarga Brahmana atau ksatria termasyur, atau dalam beberapa keluarga kaya dan terhormat lainnya. Raja Surga, manusia ini dapat terlahir kembali dalam salah satu dari keluarga makmur dan terhormat di atas hanya karena dia telah mendengar Dharani ini, dan karenanya terlahir kembali di tempat suci.”
“Raja Surga, bahkan memperoleh kemenangan gilang gemilang Bodhimanda adalah hasil dari menjunjung kebajikan dari Dharani ini. Oleh sebab itu, Dharani ini juga dikenal sebagai Dharani Bertuah, yang dapat mensucikan semua jalan sengsara. Usnisa Vijaya Dharani ini sama seperti Harta dari Mutiara Mani Matahari – murni dan tanpa cacat, jernih seperti langit, bersinar gemilang dan terpancar. Jika makluk apapun menjunjung tinggi Dharani ini, sama halnya mereka akan turut cemerlang dan murni. Dharani ini menyerupai emas Jambunada - cemerlang, murni, dan lembut, tidak dapat dinodai oleh kotoran dan semua yang menyaksikannya turut berkenan. Raja Surga, mahluk-mahluk yang menjunjung tinggi Dharani ini juga turut suci. Dengan kebajikan dari amalan murni, mereka akan terlahir kembali di jalan yang benar.”
“Raja Surga, kemanapun Dharani ini berada, jika ditulis untuk disebarluaskan, diperbanyak, diterima dan disimpan, dibaca dan dilafalkan, didengar dan dipuja, ini akan mengakibatkan semua jalan sengsara termurnikan; kesengsaraan dan penderitaan dalam semua neraka akan terhapuskan seluruhnya.”
Buddha menceritakan kembali kepada Raja Sakra secara seksama, “Jika seseorang dapat menulis Dharani ini dan meletakkan-Nya di puncak dari panji tinggi, gunung tinggi atau dalam bangunan tinggi atau menyimpannya di dalam stupa; Raja Surga! Jika di sana terdapat Bikkhu atau Bikkhuni, Upasaka atau Upasika, kaum pria atau wanita jelata yang melihat Dharani ini di atas bangunan tersebut; atau jika bayangan dari bangunan tersebut menimpa mahluk yang mendekati bangunan, atau butiran debu dari Dharani tertulis ini ditiup mengenai badan mereka; Raja Surga: “Bila karma jahat yang terkumpul dari mahluk-mahluk ini yang sepantasnya mengakibatkan mereka jatuh ke dalam jalan sengsara seperti alam neraka, binatang, Raja Yama, setan lapar, Asura dan lainnya, mereka semuanya akan terlepaskan dari jalan sengsara, dan mereka tidak akan ternoda oleh kenajisan dan kotoran. Raja Surga! Sebaliknya, semua Buddha akan melimpahkan amal (Vyakarana) kepada mahluk-mahluk yang tidak akan pernah surut dari jalan menuju Anuttara-samyak-sambodhi (penerangan sempurna)”.
“Raja Surga, bagaimanapun jikalau seseorang memberikan berbagai persembahan seperti rangkaian bunga, wewangian, dupa, panji dan bendera, tenda yang dihiasi permata, pakaian, kalung dari batu berharga, dan lain-lain untuk menghiasi dan menghormati Dharani ini; Dan pada jalan utama, jika seseorang membuat stupa khusus untuk rumah tempat Dharani ini, dan dengan hormat dengan tangan memuja berjalan perlahan-lahan mengelilingi pagoda, merunduk dan meminta perlindungan, Raja Surga, mereka yang membuat persembahan ini disebut Mahasatva terpandang, pengikut Buddha sejati, dan penyokong Dharma. Stupa-stupa tersebut dapat dianggap sebagai Stupa-Sharira seluruh wujud Sang Tathagata.”
Saat itu, sore menjelang malam, penguasa alam neraka – Raja Yama, datang untuk ke kediaman Sang Buddha. Pertama-tama, menggunakan berbagai bahan kain Dewa, bunga-bunga cantik, wewangian dan hiasan-hiasan lainnya, beliau membuat persembahan kepada Sang Buddha, dan berjalan perlahan-lahan mengelilingi Sang Buddha tujuh kali sebelum bersujud di hadapan kaki Sang Buddha untuk penghormatan, kemudian berkata, “Saya mendengar Sang Tathagata memberikan ajaran untuk memuja menjunjung tinggi Dharani agung. Saya datang dengan maksud untuk belajar dan mengamalkannya. Saya akan senantiasa mengawal dan melindungi mereka yang menjunjung tinggi, membaca, dan melafalkan Dharani agung ini, tidak membiarkan mereka jatuh dalam neraka karena mereka telah mengikuti ajaran Sang Tathagata.”
Saat ini, ke-empat pengawal dunia – Sang Caturmaharaja (Empat Raja Surgawi) berjalan perlahan-lahan mengelilingi Buddha tiga kali, dengan sangat hormat mengatakan, “Bhagavan Buddha, bolehkah Sang Tathagata menjelaskan secara rinci jalan untuk menjunjung tinggi Dharani ini.”
Sang Buddha lalu mengatakan kepada Empat Raja Surgawi , “Silakan didengarkan secara seksama, untuk kebaikan kalian sebagaimana kebaikan untuk semua mahluk hidup yang berusia pendek, Saya sekarang akan menjelaskan cara untuk menjunjung tinggi Dharani ini.”
Pada hari bulan purnama – hari ke-15 penanggalan lunar, seseorang harus mandi dahulu dan mengenakan pakaian bersih, menjunjung tinggi ajaran kesempurnaan dan melafalkan Dharani ini 1000 kali. Ini akan mengakibatkannya panjang umur, dan bebas selamanya dari penderitaan karena sakit; semua halangan karmanya akan dihapuskan seluruhnya. Seseorang akan dibebaskan dari penderitaan di neraka. Jika burung, binatang dan mahluk-mahluk hidup lainnya mendengar Dharani ini sekali saja, mereka tidak akan pernah terlahir kembali ke dalam bentuk ketidaksempurnaan dan badan kasar ini ketika hidup mereka berakhir.”
Buddha melanjutkan, “Jika seseorang yang menderita penyakit parah mendengar Dharani ini, dia akan terbebas dari penyakitnya. Semua penyakit lainnya juga akan terhapuskan, demikian juga dengan karma jahat yang akan mengakibatkannya jatuh dalam jalan sengsara. Dia akan terlahir kembali ke Tanah Kebahagiaan Tertinggi setelah akhir hidupnya. Sejak saat itu dan setelahnya dia tidak akan lagi terlahir dari rahim. Sebaliknya, dimanapun dia dilahirkan kembali, dia akan dilahirkan menjelma dari bunga teratai dan akan selalu mengingat dan menjunjung tinggi Dharani ini dan mendapatkan pengetahuan mengenai kehidupan lalunya.”
Buddha menambahkan, “Jika seseorang telah melakukan semua perbuatan sangat jahat sebelum kematiannya, menurut perbuatan dosanya, dia sepantasnya jatuh ke dalam alam neraka, binatang, Raja Yama atau setan lapar, atau bahkan kedalam neraka Avichi besar, atau dilahirkan kembali menjadi mahluk air, atau dalam salah satu dari bentuk burung dan binatang. Jika seseorang bisa mendapatkan bagian tulang dari jasad mendiang, dan mengenggam segenggam penuh tanah, membacakan Dharani ini 21 kali sebelum menaburkan tanah ini di atas tulang-tulang itu, maka si mendiang tersebut akan terlahir kembali di surga.”
Buddha menambahkan kembali, “Jika seseorang dapat melafalkan Dharani ini 21 kali sehari, seseorang berhak menerima semua berkah berkelimpahan dan akan terlahir kembali ke Tanah Kebahagiaan Tertinggi setelah kematiannya. Jika seseorang melafalkan Dharani ini secara rutin, seseorang akan mencapai Maha Parinirvana dan akan memperpanjang usia hidupnya disamping menikmati kebahagiaan yang sangat luar biasa. Setelah kehidupannya berakhir, dia akan terlahir kembali ke salah satu tanah bahagia Buddha, senantiasa didampingi para Buddha. Semua Tathagata akan selalu memberikan pelajaran mengenai kebenaran sejati dan sempurna atas Dharma dan seluruh dunia. Baghavan Buddha akan menganugerahkan amal kesempurnaannya. Sinar yang menerangi tubuhnya akan menyinari semua tanah Buddha.”
Buddha menjelaskan lebih jauh, “Untuk melafalkan Dharani ini, seseorang pertama-tama, di depan gambar Buddha, menggunakan tanah bersih untuk membuat Mandala segi empat, ukurannya sesuai keinginannya. Di atas Mandala, seseorang harus menyebarkan berbagai jenis rumput, bunga dan menyalakan beberapa dupa terbaik. Kemudian sambil berlutut dengan lutut kanan di atas lantai, penuh konsentrasi melafalkan nama Buddha dan dengan tangan dalam simbol Mudra, (yaitu dengan kedua tangan, menekuk jari telunjuk dan menekannya ke bawah dengan ibu jari dan kedua telapak tangan dihadapkan dan diposisikan di hadapan dada) untuk penghormatan, seseorang harus melafalkan Dharani ini 108 kali. Taburan bunga akan turun dari awan dan seterusnya akan menjadi persembahan semesta bagi Buddha sejumlah butiran pasir dari delapan puluh delapan Sungai Gangga. Buddha-Buddha ini akan dipuja selamanya, “Bagus sekali! Sungguh-sungguh jarang! Seorang pengikut Buddha sejati!” Seseorang akan langsung mencapai Pencerahan Kebijaksanaan Samadhi dan Samadhi Terhias Pikiran Raga Agung. Demikianlah jalan untuk menjunjung tinggi Dharani ini.” Buddha menegaskan kembali Raja Sakra, berkata, “Raja Surga, Sang Tathagata menggunakan jalan sederhana ini untuk melepaskan mahluk-mahluk yang telah jatuh ke dalam neraka; mensucikan semua jalan sengsara dan memperpanjang usia hidup mereka yang menjunjung tinggi Dharani ini. Raja Surga, silakan kembali dan memberikan Dharani ini kepada Susthita putradewa. Setelah tujuh hari, datanglah bertemu saya bersama-sama Susthita putradewa.”
Demikianlah, di tempat Bhagava Buddha, Raja Surga secara hormat menerima amalan Dharani ini dan kembali ke istana surgawi untuk menyerahkannya kepada Susthita putradewa. Setelah menerima Dharani ini, Susthita putradewa terus menerus mengamalkannya seperti diajarkan selama enam hari dan enam malam, setelahnya semua keinginannya tercapai seluruhnya. Karma yang seharusnya menyebabkan dia menderita di semua jalan sengsara terlenyapkan seluruhnya. Dia tetap berada di Jalan Bodhi dan menambah usia hidupnya untuk periode waktu yang tidak terhingga. Demikianlah, dia sangat senang, berteriak untuk memuji, “Tathagata Luar Biasa! Dharma yang sangat bagus dan jarang! Kemanjurannya telah terbuktikan! Sungguh-sungguh jarang! Saya benar-benar telah terlepaskan!”
Ketika lewat tujuh hari, Raja Sakra membawa Susthita putradewa bersama-sama dengan semua mahluk-mahluk surgawi, dengan hormat membawa perhiasan terbagus dan terbaik yang terdiri dari rangkaian bunga, wewangian, dupa, panji berpermata, tenda yang dihiasi batu berharga, bahan kain dewa dan kalungan batu pertama, mendatangi kediaman Buddha dan menyerahkan persembahan agung ini. Dengan menggunakan bahan kain surgawi dan berbagai kalungan batu permata mengadakan persembahan untuk Bhagavan Buddha, kemudian mereka dengan hormat berjalan mengelilingi Sang Buddha seratus ribu kali, memberi penghormatan kepada Sang Buddha, kemudian dengan senang hati duduk di tempat duduk mereka dan mendengarkan Sang Buddha berkhotbah Dharma.
Bhagava Buddha kemudian memanjangkan tangan emasnya dan menyentuh mahkota Susthita putradewa, yang mana kepadanya tidak hanya diberikan khotbah Dharma tetapi juga melimpahkan amal kepada Susthita putradewa untuk mencapai Bodhi.
Akhirnya, Sang Buddha berkata, “Sutra ini akan dikenal sebagai 'Yang Mensucikan Semua Jalan Sengsara Usnisa Vijaya Dharani'. Kamu harus tekun menjunjung tingginya.” Setelah mendengar Dharma ini, seluruh anggota pertemuan sangat gembira. Mereka menerima dengan iman kepercayaan dan mengamalkan Dharani ini dengan rasa hormat.
Sutra
Sutra adalah menguntai atau menyambung bersama-sama, menghubungkan pada seluruh pengertian yang dibacakan untuk membuat suatu sutra, berarti menarik yaitu dapat menggunakan kesempatan untuk tranformasi mengenai mahkluk hidup. Berarti tetap yaitu sutra merupakan Dharma yang tidak berubah, abadi dan tidak ada permulaan maupun akhirnya, suatu metode yaitu sebagai cara untuk memahami sesuatu yang tidak berubah “Dhamma”.
Kama Sutra adalah kitab suci pengikut ajaran "Sang RATU". Kitab ini sedemikian sucinya sehingga jika kitab ini dan norma-normanya tidak ada, manusia tidak akan bisa melanjutkan meneruskan keturunannya lagi. Kama Sutra diciptakan di India pada masa 4 BC (Before Camasutra), namun akhir-akhir ini Kama Sutra hendak diklaim oleh presiden Badutwi dari Puput sebagai kitab Undang-Undang Hukum Kesusilaan Negara, karena itu para pengikut ajaran SangRATU segera bangkit dari seluruh dunia untuk menghukum Badutwi secara Kama Sutra yaitu dengan diarak bugil keliling kota dengan matanya ditutup kutang dan dipaksa untuk berzinah dengan istri saudaranya.
Kitab ini dibawa oleh seorang utusan anti-Puput yaitu Mak Erot untuk mengatasi penyebaran ajaran Teposisme oleh Puput dan dianut juga oleh agama Jamiliyah, namun sangat ditentang oleh para Teposis, seperti Puput. Secara resminya, kitab ini dianut oleh agama Kama Sutra dan ketiga agama ini bersumber dari satu yang sama, disebut juga agama-agama Sangewi.
Kama Sutra adalah kitab suci yang berisi tentang kata-kata suci yang berisi tentang langkah-langkah cara meneruskan kepuputan yang berisi tentang bagaimana manusia itu hidup dan berisi tentang cara membuat anak dan yang berisi tentang cara manusia itu mempertahankan kelestariannya dan berisi tentang apa sebenarnya arti hidup manusia itu dan berisi tentang apa tujuan dari hidup manusia itu dan berisi tentang bagian-bagian tubuh manusia yang berisi tentang cara menggunakannya yang baik dan benar dan berisi tentang sex.
Penyebaran Ajaran Kama Sutra dalam rangka melawan keTEPOSan Puput
Kama Sutra telah menjadi sebuah ajaran dan gaya hidup di masa kini. Bagi anak-anak, ajaran Kama Sutra disebarkan oleh tokoh Barney dibantu keempat temannya, teletubbies. Ajaran Kama Sutra juga dipopulerkan oleh film-film suci yang disebut "Film biru". Biru memang warna suci dalam ajaran Kama Sutra, karena itulah Barney berwarna kebiruan. Selain itu ajaran Kama Sutra juga disebarkan melalui berbagai media lainnya, seperti handphone untuk berbuat vandal, iklan-iklan televisi, fashion show, koran, majalah, melalui mulut, alat kelamin, Puput, dan baju dalam.
Arya Sanghata Sutra
Sutra Sanghata adalah catatan langsung dari ajaran yang diutarakan oleh Buddha Shakyamuni di Gunung Griddhakuta di Rajagriha. Sutra yang dibabarkan oleh Buddha ini, seperti semua sutra Mahayana, telah dihafalkan oleh murid-murid beliau dan kemudian ditulis dalam bahasa Sanskerta. Namun, Sutra Sanghata adalah unik karena merupakan ajaran yang Buddha sendiri telah dengar dari Buddha sebelumnya, dan juga unik dalam hal cakupan efek-efek bagi mereka yang melafalnya, Sutra Sanghata adalah salah satu dari kelompok sutra-sutra khusus yang disebut dharma-paryaya, atau ‘ajaran-ajaran transformatif’ yang berfungsi untuk mentransformasi mereka yang mendengar atau melafalnya dalam cara-cara tertentu.

Salah satu manfaat yang paling kuat adalah bahwa pada saat kematian, siapapun yang telah melafalkan Sutra Sanghata akan melihat para Buddha datang untuk menenangkan mereka selama proses kematian. Manfaat lebih lanjut adalah, di manapun Sutra Sanghata berada, para Buddha selalu hadir, seperti dijelaskan dalam sutra itu sendiri. Dengan demikian, pelafalan sutra ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kuat di tempat manapun sutra ini dilafalkan. Secara umum, pelafalan sutra-sutra Mahayana adalah salah satu dari praktik enam kebajikan yang khususnya dianjurkan untuk purifikasi, dan pelafalan sutra ini khususnya mempunyai efek karma yang sangat luas, yang bertahan selama banyak kehidupan, seperti dijelaskan Sutra Sanghata itu sendiri secara mendetail. Dalam sutra ini, Buddha menjabarkan banyak penjelasan tentang bagaimana sutra ini berfungsi untuk mempurifikasi benih-benih penderitaan bagi mereka yang melafalnya, dan memastikan mereka mendapatkan kebahagiaan di masa depan hingga tercapainya penggugahan. Sutra ini juga mencakup beberapa ajaran mengenai kematian dan anitya, termasuk ajaran mengenai proses-proses fisik dan mental yang terjadi pada saat kematian, selama berabad-abad, Sutra Sanghata merupakan salah satu sutra Mahayana yang paling banyak dibaca dan dicetak. Pada tahun 1930-an, penggalian arkeologis telah dilakukan di Pakistan Utara di bawah pemerintahan koloni Inggris, dan ditemukan sebuah perpustakan teks Buddhis. Pengalian arkeologis ini sangatlah penting bagi para ahli sejarah, karena ditemukan banyak manuskrip tersembunyi yang ditulis pada abad ke-5 Sesudah Masehi, suatu periode yang jauh lebih awal dibandingkan penemuan lainnya di India.

Di antara banyak manuskrip penting ini, teks yang ditemukan dengan jumlah cetakan terbanyak adalah Sutra Sanghata, bahkan lebih banyak dari Sutra Teratai, Sutra Pembelah Vajra atau Sutra-sutra Prajnaparamita yang lebih kita kenal sekarang ini. Meskipun Sutra Sanghata telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dalam tradisi Buddhis Mahayana awal, termasuk bahasa China, bahasa Khotan dan bahasa Tibet, tetapi hingga pengalian tahun 1930-an tersebut, versi bahasa Sanskerta yang asli telah hilang. Akhir-akhir ini, setelah menemukan Sutra Sanghata untuk pertama kalinya ketika tinggal di vihara Geshe Sopa di Madison tahun lalu, Lama Zopa Rinpoche memutuskan untuk menulis sutra ini dengan tangan, dengan tinta emas, dan meminta murid-murid beliau untuk melafalkan sutra ini dalam banyak kesempatan.

Pada peringatan 11 September, Rinpoche meminta semua murid beliau di seluruh dunia untuk melafalkan sutra ini sebanyak mungkin guna mencegah serangan lebih lanjut.
Sambil membaca sutra transformatif yang begitu berdaya kuat, yang diajarkan oleh Buddha Shakyamuni agar marga menuju penggugahan dapat dikembangkan semudah mungkin, dengan jelas kita dapat merasakan bahwa Buddha sungguh luar biasa baik hati kepada kita. Di saat yang sama, karena sutra ini mengandung kata-kata yang sesungguhnya diucapkan oleh Buddha, dengan mengulangi sendiri ucapan tersebut selama pelafalan, kita berperan sebagai penerus untuk melestarikan ajaran-ajaran beliau di dunia. Karena itu, dengan melafal Sutra Sanghata, di samping semua manfaat yang kita sendiri akan terima, kita juga bertindak dengan cara yang sangat langsung dan berdaya kuat untuk melestarikan ajaran-ajaran Buddha, yang begitu mendesak dibutuhkan untuk menghilangkan penderitaan-penderitaan semua makhluk.

MANTRA

Mantra adalah kumpulan suku kata atau kata gaib/mistik yang mempunyai kekuatan luar biasa. Mantra adalah Susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawing untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Mantra merupakan bentuk yang lebih pendek dari Dharani, mantra tidak dapat di dapat diterjemahkan dengan tepat, karena tidak dapat dipahami, dibayangkan atau digambarkan, tetapi dapat dirasakan kekuatannya. Bila mantra dipergunakan dengan tepat dan benar, tiada hal yang tidak mungkin. Dalam karya terkenal "The Indian Buddhist Iconography" Benoytosh Bhattacharya menulis : "Dengan mengucapkan mantra berulang-ulang, akan timbul kekuatan luar biasa, yang akan mengejutkan seluruh dunia". Kunci terpenting adalah kemurnian hati dan kesujudan si pengucap mantra. Dalam "Mantras, Sacred Words of Powers", mendiang John Blofeld menulis "Mantra luar biasa efektifnya, jika kondisi mental benar-benar dipenuhi".

Maha Karuna Dharani adalah mantra Sang Avalokitesvara Bodhisattva (Kuan Im Pho Sat), yang disabdakan oleh Sakyamuni Buddha, sebagaimana disebutkan dalam " The Sutra of the Vast, Great, Perfect, Full, Unimpeded, Great Compassion Heart Dhrani of The Thousand-handed, Thousand-eyed Bodhisattva who Regards the World's Sounds" (Tripitaka Mandarin, buku XX) atau "The Dharani Sutra" (diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh the Buddhist Text Translation Society, San Fransisco, 1976). Dalam "The Dharani Sutra" disabdakan bahwa manfaat Maha Karuna Dharani antara lain untuk memperoleh kegembiraan dan kedamaian, kebebasan dari segala penyakit, umur panjang, kemakmuran, penghapusan karma berat, hilangnya halangan dan kesusahan, tumbuhnya dalam semua Dharma murni serta semua pahala dan kebajikan, lenyapnya segala penyakit, pencapaian tujuan.

Hal-hal yang diperlukan dalam pengucapan Maha Karuna Dharani adalah :
·      Fisik         :  Badan bersih, jauhi makanan hewani selama masa pengucapan mantra.
·      Rohani     :  Hati sujud, tidak tamak, tidak membenci/mendengki/mendendam, menjalankan Pancasila Buddhisme, yaitu tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berjinah, tidak berdusta dan tidak minum minuman yang memabukkan.
·      Alat          :  Dupa wangi, bunga wangi (mawar dan melati) dan air untuk pengobatan.
·      Tempat     : Vihara, kuil atau altar di rumah, terutama di hadapan Avalokitesvara Bodhisattva (lebih ideal yang dalam wujud banyak tangan), bila keadaaan tidak memungkinkan, bisa di rumah dengan menghadap ke langit.
·      Cara         : Nyalakan tiga batang dupa wangi, berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, nyalakan tiga dupa wangi lagi doa kepada Avalokitesvara Bodhisattva, ucapkan mantra ini minimal 7 kali, atau 14 kali, 21 kali sampai 108 kali, air di altar dimohon untuk diminum, ulangi cara ini tiap hari.


Referensi :
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar