Minggu, 13 Mei 2012

Makna Puja Bhakti

Makna Puja Bhakti

Seluruh agama yang terdapat di dunia ini memiliki doa-doa yang di persembahkan umat untuk ditujukan kepada Tuhan. Doa-doa tersebut dilakukan ketika umat melaksanakan kebaktian ataupun upacara keagamaan dan pulalah yang dilakukan umat Buddha.
Umat Buddha Dharma begitu mendalam, sedangkan kemampuan intelektualitas masing-masing berbeda. Maka disamping ada cara yang sulit atau sukar ada pula cara mudahnya seperti Upay-Kausalnya, sedangkan Dharma yang dibabarkan oleh Hyang Buddha secara filosofis adalah kebenaran Absolut dan tidaklah mudah dimengerti oleh sebagian umat Buddha.
Dalam Upaya-Kausalnya dalam merealisasikan Buddha Dharma dan dijalankan oleh para umat Buddha Mahayana yang mempunyai arti spritual yang dalam, juga lebih mudah dihayati dan lebih sempurna direalisasikan bilamana umat Buddha Mahayana telah mengerti tri-kaya yang merupakan filsafat Agama Buddha Mahayana. Menurut paham Mahayana semua Buddha mempunyai tri-kaya atau ‘Tiga-tubuh’ yang terdiri dari : Dharma-Kaya, Sambogha-Kaya, dan Nirmana-Kaya.
  • Dharma-Kaya adalah Tubuh Dharma atau Tubuh Spritual, merupakan sesuatu yang absolut yaitu sifat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, yang sangat sulit dimengerti sehingga para Buddha dan Bodhisattva memanifestassikannya pada bentuk Ruphyang atau arca atau lukisan gambar.  
  • Sambogha-Kaya adalah Tubuh Pemberkahan atau Tubuh Kenikmatan, berkah atau pembalasan baik Buddha yang merasakan kebahagiaan atas usahanya sendiri. Yang terbagi dua bagian yaitu : (1). Sambogha-puja yang dinikmati sendiri yaitu                   tubuh yang telah mencapai penerangan, (2). Sambogha-kaya yng dinikmati bersama, sama saja seperti Sambogha yang dinikmati sendiri hanya ini di nikmati bersama.  
  • Nirmana-Kaya adalah Tubuh Penjelmaan yaitu Sambogha-kaya Buddha menyalin rupa untuk membabarkan Dharma demi menolong atau menyelamatkan para makhluk dari segala penderitaan. 
Tata cara Puja Bhakti

Agama Buddha memiliki tata cara penghormatan kepada Buddha menggunakan Altar sebagai penunjang dalam penghormatan yang lebih dikenal dengan istilah kebaktian atau Puja Bhakti. Kata Puja berasal dari bahasa sansakerta yang berarti ‘persembahan’.  Dan merupakan unsur pokok dalam ajaran Puja Bhakti.
Umat Buddha Mahayana melakukan Puja Bhakti dengan cara pembacaan ulang berkali-kali Sutra (banyak sekali Sutra-Sutra dalam Agama Buddha Mahayana), yang dilakukan di pagi dan sore hari. Dengan dihadapkan keyakinan kuat dan kamma baik. Dharani atau Mantra yang penuh keyakinan dihadapan Buddha Ruphang dan Bodisattva Ruphang.
Sajian yang diberikan di atas altar tidak ada yang mengandung dari benda bernyawa. Umumnya sebagai berikut :
v  Buah-buahan,
Bermakna jangan membunuh mahluk hidup.
v  Air bersih atau air mineral,
Air yang telah dimasak, bermakna agar pikiran, ucapan, dan perbuatan kita bersih  selalu. Dan membersihkan batin dari ketidaktahuan juga kebodohan. 
v  Bunga,
Melambangkan keindahan dan ketidakkekalan.
v  Lilin merah atau penerangan dari minyak kelapa,
Lilin merah lebih awal di nyalakan sebelum Dupa, bermakna kita selalu diberikan penerangan dalam jalan kehidupan di waktu sekarang.
v  Dupa,
Bermakna wangi khasnya guna membersihkan udara dan lingkungan, mengundang langsung secara batin atau hati nurani ke hadapan Hyang Thagatha, Tuhan Yang Maha Esa.
Selain yang lima di atas ada juga yang menambahkan bunga atau bubuk cendana dan makanan sayuran, kue, manisan dan lain-lain untuk persembahan sembahyang terhadap orang yang meninggal.
Makna dari sajian tersebut sangat berbeda sesuai sekte nya masing-masing. Adapaun upacara ini dianggap sangat sakral. Termasuk membakar kertas adalah salah satu sembahyang yang dilakukan Agama Buddha namun Agama Buddha sangat toleransi, Budhha Mahayana sangat universal, tidak memberikan beban moril maupun materil bagi umatnya, sangat praktis bersih murni, tidak ada pantangan.[1]    

Hari-hari Suci 
Terdapat empat hari raya Agama Buddha, yaitu :
  •  Hari Waisak
Hari ini memperingati tiga peristiwa yaitu :
(1). Hari kelahiran Pangeran Sidharta,
(2). Hari pencapaian penerangan sempurnaPertapa Gautama,
(3).Dan hari sang Buddha wafat atau mencapai Nibbana atau Nirwana.   

Hari waisak dikenal juga dengan hari Visakah Puja atau Purnima Buddha di India. Dan masih banyak lagi nama sesuai negara masing-masing. Sedangkan Waisak berasal dari bahasa Pali “Wesakha” dan dalam bahasa Sansakerta “Waishakha”.  Pada hari waisak ini mengajak umat Buddha untuk menelaah kehidupan masing-masing, dan senantiasa berpedoman kepada Buddha Dharma.
Hari waisak adalah hari dimana merenungkan dan menghayatikembali perjuangan hidup Buddha Gotama, yang dibesarkan dengan segala kemewahan dan rela meninggalkan itu semua demi cinta kasihnya kepada semua makhluk. Sidharta meninggalkan Istana bukan karena paksaan dan dorongan apapun terkecuali mencari kehidupan yang hakiki. Beliau berjuang dengan gigih dan pantang menyerahdalam upaya menycari jalan yang dapat menyelamatkan makhluk dari segala penderitaan.
  • Hari Kathina
Hari ini merupakan upacara persembahan jubah kepada lima Bikkhu (Sangha) setelah menjalani vassa (musim penghujan di daerah Sang Buddha selama tiga bulan) berakhir, yaitu sehari sesudah bulan purnama penuh (Juli), sampai sehari sebelum hari Khatina (Oktober). Dalam kesempatan ini selain memberikan persembahan jubah khatina, umat Buddha juga berdana untuk kebutuhan pokok para Bikkhu, perlengkapan Vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan Agama Buddha. Dan para Bhikku yang telah melaksanakan Vassa sebanyak sepuluh sampai sembilan belas kali akan mendapatkan gelar “Thera”, dan para Bikkhu yang telah menjalankan Vassa sebanyak dua puluh kali akan ge mendapatkan gelar tertinggi yaitu “Mahathera”.
Dan mereka hanya mempunyai emapat kebutuhan yaitu : (1). Civara atau Jubah, (2). Pindapata atau makan, (3). Senasana atau tempat tinggal, (4). Gilanapaccayabhesajja atau obat-obatan.
  •  Asadha
Hari kebaktian ini diperingati dua bulan setelah hari raya waisak, guna memperingati peristiwa dimana Buddha menebarkan Dhamma untuk pertama kalinya kepada lima orang pertapa (panca vagiya) dalam hal ini Buddha membuat Arya Sangha Bikkhu (persaudaraan para Bikkhu Suci). Dengan demikian Tri Ratna menjadi lengkap, sebelumnya baru ada Buddha dan Dhamma.
Tri Ratna berarti tiga mustikaterdiri atas Buddha Dhamma,Dhamma dan Sangha, merupakan pelindung umat Buddhadengan cara memanjatkan paritta, dan umat Buddha berlindung pada Buddha berarti Buddha memilihnya sebagai guru teladan. Sedangkan berlindung pada Dhamma berarti Dhamma mengandung kebenaran yang jika dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukha, dan berlindung pada sangha berarti sangha merupakan pewaris dan pengamal Dhamma yang patut dihormati.
  • Magha Puja
Hari suci Magha Puja memperingati empat peristiwa penting, yaitu :

1.  Seribu dua ratus lima puluh orang bhikshu datang berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
2. Mereka semuanya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
3. Mereka semuanya memiliki enam abhinna.
4. Mereka semua ditasbihkan oleh Sang Buddha dengan ucapan “Ehi Bhikkhu”

Peristiwa penting ini dinamakan Caturangga-sannipata, yang berarti pertemuan besar para arahat yang diberkahi dengan empat faktor, yaitu seperti tersebut di atas. Peristiwa penting ini terjadi hanya satu kali dalam kehidupan Sang Buddha Gotama, yaitu pada saat purnama penuh di bulan Magha (Februari), tahun 587 Sebelum Masehi ( sembilan bulan setelah Sang Buddha mencapai Bodhi). Pada waktu itu, seribu dua ratus lima puluh orang Bhikkhu datang secara serempak pada waktu yang bersamaan, tanpa adanya undangan dan perjanjian sebelumnya ke tempat kediaman Sang Buddha di vihara Veluvana (Veluvanarama, yang berarti hutan pohon bambu) di kota Rajagaha. Mereka datang dengan tujuan untuk memberi hormat kepada Sang Buddha sekembalinya mereka dari tugas menyebarkan Dhamma dan melaporkan hasil penyebaran Dhamma yang telah mereka lakukan tersebut.

Para Bhikkhu yang berkumpul pada peristiwa Magha Puja itu telah mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu arahat. Mereka telah berhasil membasmi semua kilesa atau kekotoran batinnya sampai keakar-akarnya, sehingga mereka dikatakan telah khinasava atau bersih dari kekotoran batin. Mereka tidak mungkin lagi berbuat salah. Mereka telah sempurna. 
Mereka memiliki abhinna atau kemampuan batin yang lengkap yang berjumlah enam jenis, yaitu
1. Pubbenivasanussatinana, yang berarti kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir Yang dahulu.
2. Dibbacakkhunana, yang berarti kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan
   kesanggupan melihat muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-masing (mata dewa).
3. Asavakkhayanana, yang berarti kemampuan untuk memusnahkan asava atau kekotora batin.
4. Cetoporiyanana, yang berarti kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain.
5. Dibbasotanana, yang berarti kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam apaya, alam manusia, alam dewa, dan alam brahma yang dekat maupun yang jauh.
6. Iddhividhanana, yang berarti kekuatan magis, yang terdiri dari :
 a. Adhittana-iddhi, yang berarti kemampuan mengubah tubuh sendiri dari satu menjadbanyak dan dari banyak menjadi satu.
 b. Vikubbana-iddhi, yang berarti kemampuan untuk  “menyalin rupa”, umpamanya menyalin rupa menjadi anak kecil, raksasa membuat diri menjadi tidak tertampak.
c. Manomaya-iddhi, yang berarti kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, umpamanya menciptakan harimau, pohon, dewi.
d. Nanavipphara-iddhi, yang berarti pengetahuan menembus ajaran.
e. Samadhivipphara-iddhi, yang berati kemampuan konsentrasi, seperti :
   Kemampuan menembus dinding, tanah, dan gunung.
   Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam kedalam air.
   Kemampuan berjalan diatas air.
   Kemampuan melawan air.
   Kemampuan terbang di angkasa.
Pada peristiwa Suci Magha Puja itu, Sang Buddha juga memberitahukan pengangkatan Arahat Sariputta dan Arahat Moggallana sebagai siswa Utama Beliau (Aggasavaka) dalam Sangha Bhikshu.[2]

Tempat Suci 

Rumah ibadah umat Buddha Mahayana disebut Sangharama dan Vihara, sesuai fungsinya dapat disebut sebagai berikut :
  • Arama
  • Prasada
  • Kuti/kutika
  • Kulapativana
Sangharama    : Ialah sebuah bangunan besar dan luas ditambah dengan bangunan lain dalam satu  lokasi, mempunyai taman, sebagai tempat tinggal atau pemondokan bagi anggota sangha. Sangharama ini tempat dimana dapat melakukan segala macam upacara keagamaan secara perorangan maupun kelompok dalam epercayaan, tradisi, keyakinan mereka masing-masing. Tempat ini dapat pula digunakan untuk pemberkahan pernikahan, tetapi tidak boleh untuk acara pesta pernikahan.


Arama             : ialah sebidang kebun besar atau taman milik pribadi yang diberikan kepada Hyang Buddha atau Sangha untuk kepentingannya. Dan disitu di bangunlah sebuah vihara untuk kegiatan sang Buddha seperti khotbah dan tempat para siswaNya bertemu dan mengadakan pembahasan hal-hal yang suci dan bersifat duniawi.
Vihara       : ialah sebuah pondok, tempat tinggal, tempat penginapan bhiksu/bikhuni. Dan Vihara Mahayana terbagi emapat yaitu :
  1. Vihara tempat segala macam upacara keagmaan, termasuk tempat sembahyang orang-orang awam dengan cara perorangan atau kelompok.
  2. Vihara sebagai tempat tinggal viharawati, tempat mereka berusaha menjalankan kehidupan suci.
  3. Vihara khusus untuk umat Buddha melakukan ibadah dan sembahyang dan melakukan kebaktian-kebaktian termasuk kebaktian umum.
  4. Vihara khusus untuk kebaktian umum

Prasada           : Berarti sebuah Istana.
Kuti                 : Berarti tempat tinggal yang berkamar tunggal; pondok; gubuk seperti Ghandakuti =  kamar harum Hyang Buddha.
Vana                : Berarti sebuah pondok, gubuk kecil biasanya terbuat dari batang kayu, rumput dan tanah liat.
Kulapati         : Berarti umat awam yang melaksanakan ajaran Agama Buddha dengan tujuan mencapai anuttara-samkya-sambodhi, tapi tetap tinggal di rumah dengan tidak menjadi Bikhsu/Bikhsuni. Kulapati berarti kepala keluarga; kepala rumah tangga.     
Tempat yang suci yang dibangun oleh para penganut Buddha biasanya memiliki seni asitektur yang luar biasa, liat saja Candi Borobudur di Jawa Tengah. Contoh lain, Puncak Lengkungan Kubah Stupa yang berdiri di Mountmeru, Gunung Kosmik Bhuddha yang menandai pusat dunia, dan payung-payung di atas stupa melambangkan tingkat surga berbeda pada tradisi india kuno. Di atas payung-payung, ada ruang kosong dari langit-langit, terletak bidang tak berbentuk yang di dapatkan oleh “orang suci”  Buddha di level meditasi tertinggi dan ‘Buddha field’ – merupakan tempat kediaman bhudhas dan Bhodisatteva-bhodisatteva yang berasal dari tradisi mahayana. Untuk melaksanakan upacara di depan stupa bukanlah perkara sederhana, karna memerlukan aturan-aturan tertentu. Upacara itu buakan saja untuk memulakan Buddha, tapi juga untuk menyesuaikan diri di pusat kosmos atau di pusat alam.[3]
          Sebagaimana kita ketahui, daalam tradisi orang India, konsep dari pusat keramat, biasanya di gabungkan dengan singgasana kebangkitan Buddha, atau Budhimanda, di Bodhi Gaya. Menurut legenda India yang populer, semua Buddha datang ke singgsana yang sama untuk mencapai kebangkitanya. Struktur batu sekarang nampak si bawah pohon bodi di bodh gaya, yang di katakan menjadi puncak dari singgasana dan kemudian turun kepertengahan bumi. Konsep pencerahan yang keramat bisa juga di aplikasikan pada gunung-gunung yang keramat, seperti Gunug Kailasa di Tibet dan Gunung Wutai di Cina, yang mana di puja-puja sebagai singgasana Buddha atau Bhodisattvas yang memiliki kekuatan luar biasa.
          Sebaliknya, gagasan tempat duduk yang keramat atau suci juga berlaku untuk tempat yang sederhana yang mana para penganut Buddha biasa duduk untuk bermeditasi di situ, para penganut aliran zen mengingatkan mereka (umat Buddha) bahwa tempat di mana mereka duduk untuk melakukan meditasi merupakan singgasana semua Buddha dari masalalu dan masa yang akan datang. Jadi,tempat duduk untuk bermeditasi bukanlah tempat biasa tapi mempunyai makna yang cukup kompleks.
          Di dalam tradisi penganut Buddha, barang peninggalan dan patung fisik Buddha yang di puja-puja ditempat suci merupakan bentuk badanya Buddha atau melambangkan badanya Buddha. Ajaranya di kenal sebagai ‘ Darma Body’, yang juga merupakan objek pemujaan banyak orang. Beberapa dari pengikut mahayana sutra mengatakan bahwa beberapa tempat di mana darma yang di jelaskan seharusnya di berlakukan sebagai ‘ tempat suci Buddha dan naskah-naskah india klasik jua menggambarkan tempat suci Buddha sedangkan duplikat dari Mahayana dibuat dengan kemegahan yang besar dan upacara yang besar dan upacara persembahan. Banyak stupa india mengandung naskah-naskah suci di tempat peninggalan Buddha.penghormatan untuk kitab juga terlihat di Kuil Tibet,dimana duplikat dari mahayana sutra terletak di atas altar persembahan. Setiap orang yang datang ke tempat itu untuk melakukan pemujaan, sama artinya mereka melakukan penghormatan kepada Mahayana Sutra. Teradisi semacam ini berlangsung dari dulu smapi dengan sekarang.
 Sampai saat ini, pengertian kuil Buddha sangat berbeda-beda, baik di india maupun di negara-negara lain. Sebuah tempat yang di keramatkan yang di kaitkan dengan Buddha tidak di tandai dengan monumen arsitektural utama. Banyak cerita musyafir dari india kuno yang menceritakan sedikit banyak tentang peniggalan-peniggalan zaman kuno yang masih ada kaitanya dengan kehidupan Buddha. Banyak kisah yang menyebutkan bahwa batu yang terdapat di sunggai kecil dekat sarnath telah di buat oleh jubah Buddha pada saat di melintas sunggai tersebut. Jurang di suatu kota dekat shrafasti yang telah terbuka, di pandang sebagai simbol untuk menelan musuh-musuh Buddha. Di banyak tempat, banyak cara yang di lakukan orang untuk menyembah Buddha, Menurut tradisi teheravada, Buddha menggunakan kekuatan super naturalnya untuk terbang ke Srilangka, dan meninggalkan jejak kakinya sebagai tanda kunjunganya. Jejak kaki Buddha ini menjadi pusat pemujaan banyak orang yang percaya kepada Buddha.
            Dari dulu sampai dengan sekarang tempat-tempat Buddha yang di anggap keramat juga mrnjadi tempat bagi orang banyak untuk melakukan jiarah sebaimana di jelaskan dalam sejarah Cina tentang ‘the Journey to the West’ (perjalanan ke Barat), di mana tempat di India utara berkaita dengan kehidupan Buddha. Ini menunjukan erat kaitanya penyebaran agama Buddha dari India ke Cina . para penganut Buddha seluruh Asia Tenggara mengajurkan jiarah ke tempat-tempat suci Buddha.[4]
v Ajaran Sangha

Adalah sebuah Persaudaraan para bikhu/bikhuni yang bertekad akan mempraktekan Pancasila Buddhis. Para bikhsu/bikhsuni adalah orang-orang yang sudah tidak lagi mencampuri kehidupan duniawi, mereka telah menjalankan kehidupan yang suci, patuh dan setia pada Dhamma juga patuh pada Pratimoksa (sila untuk para bikhsu/bikhsuni).  

Ada 2 jenis Sangha (persaudaraan para Bhikkhu), yaitu:

  1. Sammuti Sangha = persaudaraan para Bhikkhu biasa, artinya yang belum    mencapai tingkat-tingkat kesucian.
  1. Ariya Sangha = persaudaraan para Bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian.
Pengertian 'Sangha' di dalam Sangha Ratana ini, berarti kumpulan para Ariya atau kumpulan para mahluk suci. Di dalam ajaran Agama Buddha, dikenal adanya mahluk suci, yang disebut dengan istilah Ariya Puggala. Ariya puggala ini ada 4 tingkat, yaitu:
  1. Sotapanna = orang suci tingkat pertama (sotapatti-phala) yang terlahir paling banyak tujuh kali lagi.
  2. Sakadagami = orang suci tingkat kedua (sakadagami-phala) yang akan terlahir sekali lagi (di alam nafsu).
  3. Anagami = orang suci tingkat ketiga (anagami-phala) yang tidak akan terlahir lagi (di alam nafsu).
  4. Arahat = orang suci tingkat keempat (arahatta-phala) yang terbebas dari kelahiran dan kematian).
Untuk dapat mencapai tingkat-tingkat kesucian, maka mereka harus dapat mematahkan 'belenggu' yang mengikat mahluk pada roda kehidupan. Belenggu ini disebut Samyojana. Ada 10 jenis belenggu yang harus dipatahkan bertahap sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian, yaitu:
  1. Sakkayaditthi                  = kepercayaan tentang adanya diri / kepemilikan / atta yang kekal dan terpisah.
  1. Vicikiccha                       = keraguan terhadap Buddha dan ajarannya.
  2. Silabbataparamasa           = kepercayaan tahyul, bahwa dengan upacara sembahyang saja, dapat membebaskan manusia dari penderitaan.
  3. Kamachanda / kamaraga = hawa nafsu indera
  4. Byapada / patigha            = kebencian, dendam, itikad jahat.
  5. Ruparaga                          = keinginan untuk hidup di alam yang bermateri halus.
  6. Aruparaga                        = keinginan untuk hidup di alam tanpa materi.
  7. Mana                                = kesombongan, kecongkakan, ketinggihatian.
  8. Uddhacca                         = kegelisahan, pikiran kacau dan tidak seimbang.
  9. Avijja                               = kegelapan / kebodohan batin.

  • Mereka yang telah terbebas dari 1 - 3 adalah mahluk suci tingkat pertama (Sotapanna) yang akan tumimbal lahir paling banyak tujuh kali lagi.
  • Mereka, yang disamping telah terbebas dari 1 - 3, dan telah dapat mengatasi / melemahkan no. 4 dan 5, disebut mahluk suci tingkat kedua (Sakadagami), yang akan bertumimbal lahir lagi hanya sekali di alam nafsu.
  • Mereka yang telah sepenuhnya bebas dari no. 1 - 5, adalah mahluk suci tingkat ketiga (Anagami), yang tidak akan tumimbal lahir lagi di alam nafsu).
  • Mereka yang telah bebas dari kesepuluh belenggu tersebut, disebut mahluk suci tingkat keempat (Arahat), yang telah terbebas dari kelahiran dan kematian, yang telah merealisasi Nibbana (Kebebasan Mutlak).
Selain ditinjau dari 'belenggu' yang mengikat pada roda kehidupan yang harus dipatahkan, pengertian mahluk suci ini juga dapat ditinjau dari segi Kekotoran batin (kilesa)-nya, yang telah berhasil mereka basmi. Ada 10 kilesa yang harus dibasmi sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian tersebut, yaitu:
  1. Lobha              = ketamakan
  2. Dosa                = kebencian
  3. Moha               = kebodohan batin
  4. Mana               = kesombongan
  5. Ditthi               = kekeliruan pandangan
  6. Vicikiccha       = keraguan (terhadap hukum kebenaran / Dhamma)
  7. Thina-Middha  = kemalasan dan kelambanan batin
  8. Uddhacca        = kegelisahan
  9. Ahirika            = tidak tahu malu (dalam berbuat jahat)
  10. Anottappa       = tidak takut (terhadap akibat perbuatan jahat)
           Sotapanna, dapat membasmi no. 5 dan 6; Sakadagami, dapat membasmi nomor 5 dan 6 serta melemahkan kilesa yang lainnya; Anagami, dapat membasmi nomor 5, 6 dan 2 serta melemahkan kilesa yang lainnya; Arahatta, dapat membasmi kesepuluh kekotoran batin tersebut.

Di dalam Anguttara Nikaya, Tikanipata 20/267, disebutkan tentang sifat-sifat mulia Sangha, yang disebut Sanghaguna. Ada 9 jenis Sanghaguna, yaitu:
  1. Supatipanno > Bertindak / berkelakuan baik
  1. Ujupatipanno > Bertindak jujur / lurus
  1. Nayapatipanno > Bertindak benar (berjalan di 'jalan' yang benar, yang mengarah pada perealisasian Nibbana)
  1. Samicipatipanno > Bertindak patut, penuh tanggung jawab dalam tindakannya
  1. Ahuneyyo > Patut menerima pemberian / persembahan
  1. Pahuneyyuo > Patut menerima (diberikan) tempat bernaung
  1. Dakkhineyyo > Patut menerima persembahan / dana
  1. Anjalikaraniyo > Patut menerima penghormatan (patut dihormati)
  1. Anuttaram punnakhettam lokassa > Lapangan (tempat) untuk menanam jasa yang paling luhur, yang tiada bandingnya di alam semesta.

          Dalam Tiratana, yang dimaksud Sangha di sini berarti Ariya Sangha. Jadi kita berlindung kepada Ariya Sangha. Kita tidak berlindung kepada Sammuti Sangha; tetapi kita menghormati Sammuti Sangha karena para beliau ini mengemban amanat Sang Buddha sebagai penyebar Dhamma yang jalan hidupnya mengarah ke jalan Dhamma.
Para Bhikkhu Sangha yang selalu kokoh dalam Dhamma-Vinaya adalah merupakan ladang yang subur juga bagi para umat. Oleh karena itu para umat diharapkan juga bersedia berkewajiban menyokong agar para Bhikkhu Sangha kokoh dalam moralitas dan tindak-tanduknya.[5]
Daftar pustaka

  • http://hari suci dalam agama hindu. Jakarta.
  • M. Ikhsan tanggok. Agama Budhdha. Lembaga penelitian UIN jakarta. 2009.
  • D.S. Marga Singgih. TRIDHARMA Suatu pangantar. Jakarta, 10 November 1986
  • Handiwijono, Dr. Harun, Agama Hindu dan Budha. Jakarta: Gunung Mulia 1987
  • Ali. A. Mukti, Agama-Agama, Yogyakarta: Hanindita. 1988
  • Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, Buddha Dharma Mahayana. Jakarta.1995.




[1] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, Buddha Dharma Mahayana. Jakarta.1995.


[2] D.S. Marga Singgih, TRIDHARMA suatu pengantar. Jakarta, 1986

[3] M. Ikhsan tanggok. Agama Budhdha. Lembaga penelitian UIN .jakarta. 2009

[4] Handiwijono, Dr. Harun, Agama Hindu dan Budha. Jakarta: Gunung Mulia 1987

[5] Ali. A. Mukti, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Hanindita. 1988

Tidak ada komentar:

Posting Komentar